Persindonesia.com Banyuwangi – Terkait wacana mengenai pembaharuan hukum pidana nasional, baik RKUHP maupun RUU KUHAP yang tak kunjung ada kepastian kapan akan disahkan,
Dimana masalah ini menjadi kontroversi terkait revisi RUU Kejaksaan. Bila dilihat dari sejarahnya, RUU a quo bukanlah hal yang baru karena RUU a quo sudah mulai muncul pada Prolegnas 2010-2014, yang kini ditindak lanjuti kembali. Jumat 16 Oktober 2020
Kasat Pol PP Bangka Barat Terima Kejutan Dari Danpos AL Muntok
Substansi RUU a quo tidak hanya sekedar mengenai Kejaksaan dalam konteks kelembagaan maupun hal-hal yang bersifat administratif, namun juga mengenai kewenangan jaksa dalam menjalankan fungsinya sebagai salah satu komponen dalam sistem peradilan pidana.
Tentu dengan adanya substansi yang demikian baik secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh pada mekanisme serta tata kelola sistem peradilan pidana yang ada selama ini.
Kapolsek Payung Berikan Materi tentang Bahaya Narkoba Di Desa Pancatunggal
Dalam webinar nasional Sementara itu Aditya Wiguna Sanjaya, S.H., M.H., M.H.Li. menguraikan beberapa perubahan tentang kewenangan kejaksaan dalam RUU Kejaksaan yang baru, antara lain, adanya tambahan kewenangan penyidikan oleh jaksa, dan yang menjadi kontroversi bagaimana ke-independensi-an kejaksaan sebagai salah satu lembaga kehakiman yang harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun, sementara dalam RUU Kejaksaan mekanisme pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung tidak terdapat perubahan, masih berlaku Pasal 19 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2004.
Sementara itu, Dr. Erdianto Efendi, S.H., M.Hum. dalam paparannya, yang seharusnya dilakukan bukan penambahan kewenangan, tetapi memperkuat institusi, yaitu dengan menumbuhkan sikap intelektual aparatur Kejaksaan, memberikan kewenangan penuh kepada jaksa di lapangan, longgarkan sistem komando.
“Untuk meningkatkan kepercayaan publik melalui perbaikan integritas dan jenjang karie yang fair, meningkatkan kesejahteraan jaksa, Kejaksaan harus terbuka terhadap semua pihak, jangan terkesan eksklusif, meningkatkan peran pengawas eksternal, membebaskan penegakan hukum dari kepentingan politik,” jelasnya.
Lain dari pada Fachrizal Afandi, S.Psi, S.H., M.H., ia mengatakan ada beberapa kelemahan mendasar dari UU 16/2004 tentang Kejaksaan, antara lain memposisikan Kejaksaan murni sebagai bagian eksekutif, mekanisme pengangkatan dan masa Jabatan Jaksa Agung, bergantung Keputusan Politik Presiden.
“Membuka peluang intervensi politik pemerintah dan DPR, adanya hirarki komando ala militer, Jaksa Agung adalah penanggung jawab tertinggi, adanya Asas Oportunitas terpusat, dan pengaturan independensi Jaksa tidak jelas, serta pengaturan pemeriksaan tambahan tidak jelas,” ucapnya.
Dilanjutkan dengan Dr. Rocky Marbun, S.H. berpendapat, bahwa yang perlu untuk diubah adalah perlunya adanya lembaga yang mengawasi pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan, bukan penambahan kewenangan penyidikan kepada Kejaksaan, tapi siapa yang mengawasi jika penyidikan itu sudah berjalan dengan benar atau tidak.
Kapal Nelayan Bocor Di Evakuasi Sat Polair Polres Babar dan Pos TNI AL MuntokĀ
“Bagaimanapun teori dan aturan yang ada dalam peraturan perundang-undangan dengan pelaksanaannya itu pada dasarnya adalah sama, yang penting adalah harus ada perubahan pola pikir untuk ke arah yang lebih baik, yang dapat menutup celah kelemahan dalam sistem peradilan pidana,” katanyaw
Dengan webinar ini diharapkan akan dapat meningkatkan pemahaman baik bagi kalangan akademisi maupun masyarakat luas mengenai polemic RUU Kejaksaan, dan memberikan masukan bagi pembentuk undang-undang untuk mempertimbangkan kembali mengenai kelemahan yang ada pada RUU Kejaksaan.
ABADI