Kampung Wisata Keranggan Masuk 20 Besar Dari 109 Desa Wisata Se-Indonesia

Tangerang Selatan,Persindonesia.com-Kampung Wisata Keranggan, Kelurahan Keranggan, Kecamatan Setu, Kota Tangsel, Banten masuk dalam 20 desa wisata se Indonesia dari 109 desa, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Dari 20 desa, akan diseleksi menjadi enam desa pada Senin (22/11) ini.

Tim penilai, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, CEO Founder Berbangsa Foundation Vitria Ariani, pada Jumat, (20/11) disela kegiatan penilaian, mengatakan bahwa program pendampingan ke desa wisata melalui universitas di seluruh Indonesia. Dan kebetulan Keranggan masuk 20 desa wisata dari 109 desa-desa yang di dampingi oleh kampus-kampus. Keranggan bisa menjadi 20 besar tentu sangat bagus sekali, yang mana pesertanya ada dari Papua dan Aceh serta kota-kota besar lain.

“Yang dinilai universitasnya, dalam hal ini tim pendamping dari Politeknik Sahid. Kita berharap Keranggan menjadi wisata unggulan di Kota Tangsel. Yaitu bagaimana Universitas Sahid dapat membuat desa wasata berbasis komunitas masyarakat. Apakah ada peningkatan yang dilakukan, dan peningkatan pendampingan secara pengembangan aktraksi, aminitas dan aksesibilitas (3A) dan SDM bertumbuh kembang atau tidak dengan adanya ini,” ujarnya.

Hal senada disampaikan Dosen Podomoro University Santi Palupi  bahwa ada delapan indikator penilaian, dan Keranggan masuk kategori desa rintisan. Di mana ada tiga klasifikasi yaitu rintisan, berkemang dan maju. Namun rintisan bisa loncat langsung kategori kemaju. Cirinya maju itu, sudah memiliki website serta banyak dikunjungi wisatawan. Didukung masyarakatnya sadar wisata serta merasa bagian dari produk ini sehingga mau menjual.

“Karakter rintisan pertama jika ada aksesibilitas menuju ke lokasi itu mudah, ada sarana dan prasarana meliputi toilet, bersih, ada homestay. Kemudian ada atraksi, bisa budaya atau buatan manusia serta atraksi alam. Sehingga bisa naik ke kriteria maju bahkan bisa masuk dalam kategori mandiri. Mandiri itu tidak lagi dibantu tapi bisa sendiri memperoleh pendapatan dari pariwisata,” tambah Santi.

Lanjut ia, modal utamanya adalah SDM. Keranggan berangkat dari ekonomi kreatif. Baru kemudian dimunculkan kesadaran berwisata, misalnya ketika ada orang datang disambut dengan baik, melalui senyum, keramah tamahan, dan itulah  modal utama.

“Senin ini diputuskan 6 besar, kemudian rencana 1 Desember akan diumumkan enam besarnya oleh Bapak Menteri. Untuk desa mendapatkan penghargaan berupa uang, sedangkan universitasnya mendapatkan sertifikat,” ibuh ia.

Hal yang paling penting setidaknya ketika sudah masuk 20 besar, masyarakatnya harus mempertahankan dan memperbaiki. Sebetulnya ini jadi pengantar saja. Setelah diberikan program seperti ini, masyarakatnya harus lebih bagus lagi, sadar wisata dan lebih ramah lagi, ketika ada orang yang membeli produk bisa menawarkan homestay dan produk yang lain.

Sekretaris Kelurahan Keranggan, Feerdyan mengatakan dukungan dari semua lini khususnya Pemkot Tangsel menjadi hal utama. “Harapan saya, ini bisa lebih baik lagi, dengan sarana dan prasaranya termasuk soal kemasan produk bisa diperhatikan. Adapun untuk masyarakat sekitar agar lebih banyak sosialiasi kebersihan,” tegasnya.

Wakil Direktur Bidang Akademik Politeknik Sahid, sekaligus wakil pendamping Derinta Entas menuturkan bahwa Keranggan ini aksesnya dekat dengan Jakarta sehingga salah satu alternatif terlebih di masa Covid-19 orang lebih memilih tempat yang tidak ramai dan makanan lokal. Memang tantangan tidak mudah, yaitu bagaimana menjadikan masyarakat memiliki persepsi yang sama.

“Kita mencoba mengembangkan dengan ekonominya menjadikan kampung berubah dan kini sudah terbukti serta bisa dikenal lebih luas lagi. Kami membina pada membuat produk wisata, dan sekarang tengah berproses, karena tidak bisa instan, dalam prosesnya sudah mencapai target 50 persen,” sambung Derinta

Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kampung Wisata Keranggan (ekowisata) Alwani menjelaskan, dirinya sebagai pengurus Pokdarwis, kagat tiba-tiba masuk ke-20 besar tingkat nasional untuk penilain destinasi berbasis masyarakat. Penilaian ini melihat sejauh mana wisata Kampung Keranggan berbenah, mulai dari gagasan, konsep hingga tataran implementasi. Maka proses itulah yang dinilai.

“Dan kami melakukan ini sejak lima tahun silam, Allahamdulillah dari 109 seluruh Indonesia, akhirnya masuk ke-20 besar, dari berbagai kota,” ucapnya dengan syukur.

Para juri, saat tiba di lokasi, disambut dengan silat padepokan Kesatria Cisadane. Rombongan  melakukan kunjungan ke homestay, home industri. Termasuk pengurus juga menyerahkan data mulai Surat Keputusan (SK) dari kelurahan, SK Walikota termasuk sedang proses dan SK Dinas Pariwisata Kota Tangsel.

“Kami juga menyampaikan mitra kerja, baik dari media, akademisi universitas, ada ITI, UMN, UPH, SGU, Politeknik Sahid, Institut Pradita, termasuk CSR, yang mana bantuan apar telah diberikan untuk homestay,” ia merinci.

Selain yang dinilai adalah proses, juga penilaian mengarah pada aspek kerjasama baik dengan pemerintah, masyarakat, swasta, media serta akademisi. Ini adalah proses yang baik, ketika semuanya dapat bergabung.

Saat ini, homestay ada 10 yang siap untuk menerima tamu kapan saja. Dengan aturan, satu komunitas satu hari, juga perlu menerapkan protokol kesehatan. Dibandrol Rp 550 dua hari satu malam untuk berwisata keluarga dengan kapasitas 5 orang, termasuk wisata pertanian, membuat aneka macam makanan, dan lain-lain.

Ada juga homestay kelas ekonomis, berlokasi tak jauh dari Kali Cisadane, dan ini banyak digunakan oleh pengunjung dari berbagai daerah untuk mandi di Cisadane.

Kabid Insutri, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Tangsel, Ferry Payacun menyampaikan jika lahan yang ada tidak dikembangkan akan hilang, dimiliki pengembang. Jika hilang masyarakat menjadi penonton.

“Kita tidak mau seperti itu. Kita mau masyarakatnya berdaya. Hanya saja memang harus ada proses. Prosesnya tidak bisa satu tahun dua tahun. Kita mulai sejak 2013/2014 silam dan kini sudah terlihat. Dulu, waktu awal masuk ke Keranggan, orang memandang bawah kampung kumuh dan tidak berprospek. Tapi kini rupanya bisa hidup dari makanan lokal di mana mencapai 100 lebih produk yang dikembangkan,” ujar pejabat yang dua tahun lagi pensiun ini.

Lanjut ia, memang tidak bisa langsung tenar dalam sekejap, dan diperkirakan butuh tiga hingga empat tahun lagi untuk bisa mendatangkan masyarakat dalam jumlah besar, berbondong-bondong untuk datang ke tempat ini.  (nr/din)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *