OPINI Ngopi Jelang Malam : Layak & Mampukah PT BOGEM ???

Bondowoso, Persindonesia – Bicara tentang PT Bogem gak ada habisnya, yang menjadi pertanyaan berbagai kalangan masyarakat banyak adalah ;

Layakkah …….? , Mampukah ……….?

PT Bogem memberikan tingkat pengembalian (rate of return) yang baik ataukah tidak atau mampukah memberikan nilai positif pada social opportunity cost of capital ?

Penulis mencoba mengkaji kelayakan PT Bogem sebagai BUMD Kabupaten Bondowoso kali ini Penulis membahas dengan Seorang Mantan Pejabat LDO, Benediktus Distivianto Yocu,SE terkait dengan PT BOGEM, tentunya sambil Ngopi malam ini makin menarik berbincang dengan para Pakar Alumni sebuah Perusahaan Besar untuk membahas kabar BUMD Bondowoso ini.

Dalam era otonomi daerah, pemerintah telah memberikan kesempatan yang luas bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Pemerintah daerah dapat mengatur sendiri beberapa aspek kehidupan di daerahnya baik aspek ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial, maupun budaya. Dalam aspek ekonomi, pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk membentuk suatu BUMD. Pada hakikatnya BUMD mempunyai peran yang strategis dalam era otonomi daerah saat ini. Data yang ada menunjukkan bahwa pengelolaan PT. BOGEM sebagai BUMD belum optimal, baik dari aspek keuangan maupun  kinerja. Dengan kondisi ini, dan ditambah adanya dugaan praktek  mismanagement yang mengarah pada inefisiensi dan kecurangan, maka PT BOGEM perlu dan penting untuk melakukan pembenahan sehingga terjadi percepatan pelayanan publik.

Untuk diketahui, BUMD menurut UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Daerah. Terdapat dua bentuk BUMD, yaitu: 1) Perusahaan Umum Daerah adalah BUMD yang seluruh modalnya dimiliki oleh satu Daerah dan tidak terbagi atas saham, dan 2) Perusahaan Perseroan Daerah adalah BUMD yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruhnya atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh satu Daerah. Dari pengamatan terhadap peraturan perundang-undangan ditemukan belum adanya Undang-undang tentang Badan Usaha Milik Daerah pengganti UU Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah  sebagai payung hukum BUMD. Kondisi ini sangat berbeda dengan Badan Usaha Milik Negara dimana telah memiliki payung hukum yaitu Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.

Konsep pengelolaan BUMD non persero (Perusahaan Daerah/Perusahaan Umum Daerah) dimungkinkan dengan model pengelolaan BUMD dengan sistem ”swakelola mandiri”. Konsep pengelolaan ini menggunakan sistem pengawasan ataupun pembinaan secara bertanggungjawab dan intensif. Pengelolaan BUMD dilakukan dengan pengawasan dan pembinaan secara langsung oleh pemangku kebijakan yang dilakukan oleh kepala daerah selaku pemegang otoritas tertinggi di pemerintah daerah. Kewenangan pemerintah daerah selaku pemegang otoritas dapat melakukan ”intervensi kebijakan” dalam konteks yang positif terkait kinerja dari BUMD melalui dewan pengawas. UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menyebutkan bahwa dalam pengelolaan BUMD salah satunya harus mengandung unsur tata kelola perusahaan yang baik. Namun demikian, peraturan pemerintah maupun peraturan lain yang mengatur lebih lanjut ketentuan mengenai tata kelola perusahaan yang baik dalam pengelolaan BUMD tersebut belum dikeluarkan. Sementara konsep pengelolaan BUMD persero (Perseroan Terbatas/Perusahan Perseroan Daerah), berdasarkan Permendagri Nomor 3 Tahun 1998 tentang Badan Hukum BUMD, menyatakan bahwa BUMD berbentuk perseroan terbatas tunduk pada UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan peraturan pelaksanaannya.

Kondisi pengelolaan BUMD masih belum optimal antara lain terlihat dari pengelolaan yang masih terjebak dalam pola kerja birokrasi daripada sebagai perusahaan yang berorientasi pada kepuasan pelanggan, pelayanan yang diberikan belum maksimal, serta adanya praktek mismanagement yang mengarah pada inefisiensi dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan BUMD.

Artinya, yang ingin penulis pertanyakan dan kemukaan , apakah diperlukan Reviu literatur pada PT BOGEM untuk dapat menggambarkan landasan hukumnya, bentuk pengelolaannya dan kondisi pengelolaannya yang belum efisien, ?

Layakkah BUMD PT BOGEM dipertahankan mengingat formulasi sumber-sumber pendapatan daerah khususnya produksi kopi masih belum tergali secara memuaskan ? 

Saat menikmati ngopi malam bersama rekan rekan Beni di Becoff Coffee Indonesia

Menurut, Beni Owner Becoff Coffee Indonesia, “Jika mau menengok sebentar pada aspek konsepsi dari dibentuknya BUMD adalah Pertama, meningkatkan pendapatan daerah di luar pajak dan retribusi sebagai alternatif Pendapatan Asli Daerah (PAD), Kedua, memberikan layanan publik tertentu yang dibutuhkan masyarakat, tapi tidak bisa ditangani swasta, Ketiga, menangani sektor usaha yang dibutuhkan masyarakat, tapi tidak banyak diminati perusahaan swasta. Pada aras ini, BUMD sering berfungsi menjadi bisnis pioner dan menjadi penyeimbang dinamika dunia usaha di daerah untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif” ungkap Mantan Pejabat LDO.

Pada titik ini, sektor yang cocok digeluti oleh daerah adalah pembangunan infrastruktur dan sumberdaya alam. Sebab dalam paradigma pembangunan saat ini, kekuasaan pemerintah harus semakin dibatasi pada bidang pengelolaan public goods. Bidang dimana swasta dan masyarakat tidak punya insentif untuk melakukannya (Rustiadi, 2008).

Menurutnya,” Payung hukum yang tidak jelas sampai dengan persoalan yang muncul dari internal dan eksternal BUMD sendiri UU. No. 5/1962 tentang Perusahaan Daerah misalnya. UU yang telah dicabut ini belum ada undang-undang yang menggantikan. Karena itu, justifikasi hukum pembentukan BUMD itu hanya disandarkan pada UU. No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah pada Pasal 6 dan 78 ayat 1. Pasal yang menjelaskan tentang sumber-sumber PAD dan di mungkin- kannya pemerintah daerah melakukan kerjasama dengan pihak lain atas dasar saling menguntungkan. BUMD adalah tafsir dan penjelasan atas pasal itu. Dari sinilah pangkal tolak munculnya gagasan BUMD di daerah,” tambahnya.

Ditambahkan,”Tapi, karena payung hukumnya tidak jelas, banyak BUMD salah urus karena berbagai bentuk intervensi yang tak perlu. Baik intervensi dari legislatif maupun intervensi dari eksekutif sendiri dan Masalah utamanya terletak pada manajemen, termasuk sumberdaya manusia (SDM). Karena BUMD dianggap punya Pemda, maka tak jarang kontruksi pola pikirnya masih birokratis. Apalagi, kadang-kadang SDM-nya diambil dari birokrasi. Sementara pola pikir birokrasi sangat berbeda dengan dunia bisnis maka, alih-alin ingin meningkatkan PAD via keuntungan dari BUMD, yang terjadi malah BUMD yang buntung. Dalam konteks ini, tidak jarang BUMD malah dibiayai oleh APBD setiap operasional kegiatannya.”Imbuh Beni menjelaskan.

Seperti yang dipertanyakan oleh Penulis Secara finansial, artinya mampukah BUMD PT BOGEM memberikan tingkat pengembalian (rate of return) yang baik ataukah tidak. Atau, apakah PT. BOGEM tersebut mampu memberikan nilai positif pada social opportunity cost of capital dan lain-lain ?

Menurut Beni,”Jika masukan dan prosesnya sampah, maka hasilnya juga akan sampah (garbage in, garbage out). Sekarang keputusannya tentu berada di tangan Pemerintah Daerah“, tuturnya sambil menyeruput kopi robustanya.

Kabiro Persindonesia Bondowoso

Penulis : Mohammad Agam Hafidiyanto,SH – Kabiro Persindonesia

Nara Sumber : Benediktus Distivianto Yoci,SE – Owner Becoff Coffee Indonesia

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *