Persindonesia.com Jembrana – Akibat musim kemarau dan ditambah terjadinya penebangan liar di hutan, Bendungan Palasari yang merupakan bendungan terbesar di bumi Makepung yang terletak di Banjar Palarejo, Desa Ekasari, Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana tahun ke tahun semakin memprihatinkan.
Debit air di bendungan yang diresmikan Presiden Soeharto pada 29 Juli 1989 tersebut kian tahun kian menyusut sehingga para petani kekurangan air dan kebanyakan mengunakan pompa air untuk bekerja di sawah maupun ladang.
Salah satu warga warga Ekasari Putu Sudarya yang akrab dipanggil Pak Cabink mengatakan, perambahan hutan sangat berdampak pada kondisi Bendungan Palasari. “Kondisi kekeringan dan kemarau panjang juga membuat lahan pertanian dan perkebunan di wilayah kami kesulitan air. Bahkan, sebagai petani, saya harus menggunakan pompa air,” ujarnya. Minggu (29/9/2024).
Zona Merah Jadi Sasaran, Penebangan Liar di Manistutu Makin Marak
Ia sangat berharap ada tindakan tegas terhadap perambahan hutan di wilayah Ekasari agar air tetap terjaga. “Semoga dari pihak pemerintah maupun aparat lebih tegas menindak kepada palaku penebangan kayu di hutan,” harapannya.
Bupati Jembrana, I Nengah Tamba, sebelumnya telah menekankan pentingnya peran masyarakat sekitar Bendungan Palasari untuk ikut menjaga dan mengawasi hutan. Menurutnya, menjaga kelestarian hutan merupakan langkah penting untuk mencegah terjadinya hal yang tidak diinginkan. “Kami berharap adanya ‘pagar betis’ dalam menjaga kelestarian hutan,” katanya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan dan Kawasan Permukiman (PUPRPKP) Jembrana, I Wayan Sudiarta, mengatakan bahwa pengendapan sedimentasi di bendung maupun bendungan memang perlu penanganan serius.
“Kabupaten Jembrana hanya mengelola empat bendung. Dua bendungan di Melaya, yakni Bendungan Benel dan Bendungan Palasari, berada di bawah kewenangan Balai Wilayah Sungai Bali Penida, sehingga penanganannya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat melalui balai tersebut,” ungkapnya. TS