Denpasar – Dalam momen pemilihan kepala daerah (Pilkada) Bali 2024, terutama di masa kampanye, isu politik uang kerap menjadi sorotan.
Namun, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Bali memberikan penjelasan penting yang bisa menjernihkan persepsi masyarakat terkait pemberian bantuan sosial yang dilakukan calon kepala daerah.
Menurut I Wayan Wirka, Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran Bawaslu Bali, pemberian sumbangan oleh pasangan calon (paslon) kepada masyarakat dalam acara adat atau keagamaan tidak serta merta dianggap pelanggaran.
“Kami harus memahami konteks pemberiannya. Apakah itu bagian dari kampanye atau murni sebagai tindakan sosial. Kalau ada unsur ajakan untuk memilih, barulah itu bisa dikategorikan sebagai pelanggaran politik uang,” ujar Wirka kepada wartawan, Minggu (13/10/2024)
Pernyataan ini memperjelas bahwa tidak semua bantuan yang diberikan paslon bersifat melanggar hukum.
Bawaslu melihat pentingnya menjaga keseimbangan antara pengawasan ketat terhadap pelanggaran pemilu dengan mempertahankan ruang bagi kegiatan sosial yang tidak melibatkan agenda politik.
Penilaian Kasus Berdasarkan Konteks
Bawaslu berperan mengawasi pelanggaran dalam setiap aktivitas kampanye, terutama dalam hal pemberian sumbangan yang kerap diasosiasikan dengan politik uang.
Wirka menegaskan bahwa mereka juga mempertimbangkan apakah bantuan diberikan dengan narasi politik atau semata sebagai aksi sosial. Hal ini sangat penting, mengingat dalam berbagai kegiatan adat atau keagamaan, sumbangan dilakukan tokoh masyarakat sering kali menjadi hal wajar.
“Sumbangan kepada tempat ibadah, baik itu pura, masjid, atau gereja, selama tidak ada ajakan untuk memilih, tidak kami anggap sebagai pelanggaran,” kata Wirka.
Ia menekankan bahwa Bawaslu hanya akan menindak kasus di mana ada bukti konkret ajakan politik saat pemberian sumbangan.
Fokus pada Ajakan Memilih
Menurut Wirka, unsur penting yang membedakan sumbangan sosial dan politik uang adalah ajakan atau imbauan untuk memilih.
Bawaslu akan melihat materi kampanye atau pernyataan yang menyertai pemberian sumbangan. Apabila ada unsur ajakan untuk memilih calon tertentu, meskipun tidak dilakukan dalam sesi kampanye resmi, tindakan itu bisa dikategorikan sebagai pelanggaran.
“Kami menilai perbuatannya. Kalau misalnya ada ajakan memilih, meskipun sumbangan diberikan di luar masa kampanye, itu bisa menjadi tindak pidana pemilu,” tambahnya.
Menghindari Politisasi Kegiatan Sosial
Pernyataan Bawaslu ini juga mengirim pesan penting kepada masyarakat bahwa kegiatan sosial tidak seharusnya selalu dicurigai sebagai bagian dari kampanye terselubung.
Ada banyak calon kepala daerah yang memang memiliki peran penting dalam komunitas mereka dan seringkali terlibat dalam kegiatan sosial atau keagamaan.
Namun, Wirka juga mengingatkan bahwa masyarakat harus tetap waspada terhadap kemungkinan politisasi bantuan sosial. Jika ada sumbangan yang diberikan dengan pesan politik atau ajakan memilih, itu bisa dianggap sebagai bentuk politik uang.
(*)