BONDOWOSO, Persindonesia.com – Rekomendasi KASN tanggal 11 Agustus 2023 yang di-share di beberapa group diskusi Whatssap pegiat LSM dan media cukup mengejutkan publik. KASN mengeluarkan rekomendasi kepada Bupati Bondowoso untuk meninjau ulang pemutasian 8 orang PPT Pratama (setingkat eselon II, red.) dan mengembalikan mereka ke dalam jabatan semula. Poin krusial selanjutnya adalah agar Bupati meninjau ulang SK pelantikan 220 pejabat administrasi yang dilaksanakan dalam 5 kali pelantikan sepanjang tahun 2023.
Atas dasar rekomendasi tersebut, Pemkab Bondowoso kemudian melaksanakan penataan (mutasi/promosi, red.) pada 22 Mei dan 14 Juni 2024. Namun penataan tersebut justru menimbulkan permasalahan baru. Kalangan masyarakat khususnya ASN menilai pelantikan tersebut tidak sesuai dengan regulasi yang berlaku.
Bahkan ada beberapa pegiat LSM dan media yang melaporkan permasalahan ini ke Inspektorat Provinsi Jawa Timur, Kemenpan RB, Kemendagri, dan Badan Kepegawaian Negara. Termasuk kami sebagai awak media ini.
Tidak hanya berkirim surat pengaduan, kami bahkan sempat mengklarifikasi permasalahan ini ke Badan Kepegawaian Negara di Jakarta.
Dari salah seorang staf yang menangani pengaduan kami, diperoleh informasi yang cukup mengejutkan. Yang bersangkutan (yang tidak bersedia disebutkan namanya, red) memberi penjelasan bahwa rekomendasi KASN pada 11 Agustus 2023 cukup jelas implementasinya.
Dia menjelaskan bahwa KASN dan BKN sepakat bahwa penataan ulang yang dimaksud dalam rekomendasi tersebut hanya di lingkup 220 pejabat yang dilantik sepanjang tahun 2023. Dan tidak boleh ada mutasi atau promosi baru di luar 220 pejabat dimaksud.
Hal ini bertentangan dengan realita pelantikan pada 22 Mei dan 14 Juni 2024. Kami menemukan sekitar 25 orang di luar lingkup rekomendasi sebagaimana kesepakatan KASN dan BKN. Justru ada beberapa orang yang dikembalikan ke jabatan semula meski turun eselonnya pada pelantikan 22 Mei 2024. Untuk memperoleh keterangan pelengkap informasi yang kami dapatkan tersebut, kami mencoba konfirmasi kepada Kepala BKPSDM Kab. Bondowoso (Mahfud Junaedi, red).
Dalam klarifikasinya kepada kami Mahfud menyatakan bahwa pelantikan yang dilakukan tersebut sudah tidak ada masalah karena sudah sesuai dengan regulasi yang berlaku. Dirinya bahkan menyatakan bahwa sudah diklarifikasi oleh Irjen khusus (entah dari kementerian apa, red) dan Pj. Gubernur Jawa Timur terkait pelantikan tersebut. “Kenapa pelantikan bisa dilaksanakan, karena sudah tidak ada masalah. Artinya, kami, kita, ke BKN, Kemendagri itu tidak ada yang ditutup-tutupi. Karena kalau ada yang ditutupi, pasti kita kena sanksi” tambahnya.
Saat ditanya perihal pejabat yg belum 2 tahun dimutasi, Mahfud menjawab “Aturan disitu menyebutkan harus 2 tahun.
Apakah boleh tidak mencapai 2 tahun? Boleh, ketika organisasi itu membutuhkan yang bersangkutan. Ketika yang namanya PPK, Bupati, membutuhkan yang bersangkutan. Sepanjang dari kepangkatan memenuhi syarat, regulasi memenuhi syarat. Artinya memenuhi syarat apa, dibahas di TPK dulu, ada berita acara dan sebagainya”.
Mahfud menambahkan “Yang dipersoalkan itu, yang 220 itu bukan karena jumlahnya 220. Pelaksanaan mutasinya tidak melalui mekanisme yang sebenarnya. Tidak dibahas di TPK, begitu. Jadi harus ditata kembali. Kenapa, karena pelantikan itu dianulir. Jelas itu, rekomnya KASN kan jelas, itu dianulir”.
Selanjutnya kami juga menanyakan perihal daftar PNS yang tidak dibaca secara keseluruhan saat pelantikan.
Mahfud menyatakan bahwa tidak ada aturan yang mengharuskan dibaca keseluruhan. Dari penjelasan panjang lebar Mahfud ini, kami menemukan beberapa kontradiksi dan inkonsistensi sikap Pemkab dalam melaksanakan rekomendasi KASN.
Pertama, yang sangat jelas adalah poin “ditinjau ulang”, yang oleh Mahfud diartikan ” dianulir”. Mestinya dalam hal ini Bupati menganulir seluruh pelantikan tahun 2023, untuk kemudian ditata ulang. Kenyataannya tidak semua PNS dikembalikan ke jabatan semula. Hal ini yang kemudian memberi celah kepada Bupati melalui TPK untuk memasukkan nama-nama baru dalam pelantikan di tahun 2024. Dalam hal ini, kita bisa mengartikan PNS yang dilantik pada tahun 2023 yang tidak dikembalikan dalam jabatan semula, tidak sah jabatannya. Karena seperti yang disampaikan oleh Mahfud, jelas rekomendasi KASN menganulir, karena tidak dibahas di TPK.
Kedua, terkait PNS yg belum genap 2 tahun dimutasi. Menurut penjelasan Mahfud hal ini diperbolehkan, sepanjang Bupati dan organisasi membutuhkan. Padahal salah satu alasan KASN “menganulir” pelantikan tahun 2023 adalah karena belum genap 2 tahun dalam jabatan terakhir. Alasan ini tentu sangat absurd, konyol. Memperbaiki kesalahan dengan melakukan kesalahan yang sama. Jika alasan TPK adalah kebutuhan organisasi, mestinya nama-nama seperti Moh. Hasan Suryadi, Kristianto Putro Prasojo, Sofia Adie Kurniawati dan beberapa nama lainnya tidak harus dikembalikan ke jabatan semula. Dengan alasan kebutuhan organisasi, mutasi mereka dapat saja dibenarkan. Kenyataannya, dalam mutasi 22 Mei 2024, ada beberapa nama yang juga belum genap 2 tahun dalam jabatan terakhir. Sebut saja Suhari Ali Candra (Kabag Prokopim), Sunaryadi (Camat Tamanan), Subhan (Sekretaris Dispusip) dan beberapa nama lainnya.
Selain itu dalam aturan kepegawaian, baik itu UU ASN, PP tentang Manajemen PNS, tidak ada klausul yang memperbolehkan pejabat dimutasi sebelum 2 tahun. Bahkan dalam Perka BKN Nomor 5 tahun 2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Mutasi, pada pasal 2 ayat (4) dijelaskan bahwa mutasi dilakukan paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun. Dan tidak ada klausul pengecualian dari pasal tersebut.
Ketiga, inkonsistensi Bupati dan TPK dalam menerapkan asas keadilan bagi PNS. Perlakuan tidak sama yang diterima oleh PNS “korban” pengembalian/penataan ulang tentu berdampak terhadap psikologis mereka. Di satu sisi ada yg dipertahankan, di sisi lain ada yg dikembalikan bahkan diturunkan eselonnya meski promosi mereka sudah memenuhi syarat. Contoh Yuni Samsi, Sekcam Sukosari yang dikembalikan ke jabatan Kasi Pemerintahan Kec. Pujer. Yang bersangkutan sudah mencukupi syarat masa jabatan di jabatan pengawas untuk dipromosikan ke jabatan administrator, namun dikembalikan ke jabatan pengawas (turun eselon, red.).
Ada juga nama Andri Setiawan, Sekretaris BPBD dikembalikan ke jabatan Kasi Kesos & PMD Kec. Tenggarang. Yang bersangkutan sama kasusnya dengan Yuni Samsi, diturunkan eselonnya. Masih ada beberapa nama lain yang juga mengalami nasib serupa dengan mereka. Padahal salah satu prinsip penataan dan pola karir PNS adalah mempertimbangkan kesejahteraan dan tidak boleh merugikan PNS yang bersangkutan.
Keempat, diksi “hak prerogatif” yang dipilih oleh Mahfud untuk menyebut kewenangan Bupati. Dalam hukum yang berlaku di Indonesia, hak prerogatif adalah hak istimewa yang diberikan kepada pemerintah atau kepala negara. Konyol jika menyebut kewenangan Bupati dengan istilah hak prerogatif.
Dalam sesi wawancara kami, Mahfud sempat mengulang beberapa kali kata “hak prerogatif” ini. Perlu kita ketahui bahwa Bupati tidak memiliki hak prerogatif, tetapi kewenangan yang diatur dalam perundang-undangan. Dalam hal kepegawaian, Bupati memperoleh pendelegasian kewenangan dari Presiden.
Kelima, ketidakmampuan para pejabat dalam TPK menerjemahkan regulasi kepegawaian. Dalam UU ASN, PP 11 tahun 2017 sebagaimana telah diubah dengan PP 27 tahun 2020, maupun peraturan turunan sebagai petunjuk pelaksanaannya, syarat untuk diangkat dalam jabatan administrasi (pengawas dan administrator) bukan hanya masalah 2 tahun dalam jabatan terakhir. Regulasi juga mempersyaratkan kompetensi teknis, kompetensi manajerial dan kompetensi sosial kultural. Maka kemudian menjadi aneh saat (sebut saja) Yuli Indrawati dilantik menjadi Sekretaris Dinas Pertanian, meski tidak memiliki pengalaman dan kompetensi teknis untuk jabatan itu. Ada juga Nurya Ima Sinta, dilantik sebagai Kabid Pembinaan Perpustakaan, meski latar pendidikan yang bersangkutan adalah S. 1 dan S. 2 Teknik Sipil. Contoh kasus lain adalah Indra Novianto yang dilantik sebagai Pj. Seklur Kotakulon. Riwayat jabatan yang bersangkutan adalah pengemudi sampai dengan tahun 2021. Padahal salah satu syarat untuk diangkat dalam jabatan pengawas adalah memiliki pengalaman minimal 4 tahun dalam jabatan pelaksana sesuai dengan tugas jabatan yang akan didudukinya. Lantas dimanakah letak regulasi yang disampaikan oleh Mahfud ini?
“Kebodohan” para pejabat yang duduk dalam TPK ini tentu akan melahirkan pertimbangan yang buruk bagi Bupati dalam mengambil keputusan mengenai mutasi/promosi. Bayangkan jika pejabat sekelas Kepala BKPSDM saja tidak paham “hak prerogatif”, bagaimana bisa memberikan pertimbangan obyektir sesuai regulasi kepada Bupati.
Terakhir adalah kemauan Bupati dan TPK dalam menegakkan aturan kepegawaian dan terlaksananya sistem merit. Jika kemauan tidak ada maka kekerabatan, relasi, kedekatan akan mengalahkan regulasi. Percuma menarasikan “sudah sesuai regulasi”, ” sudah sesuai prosedur”, jika pada kenyataannya Bupati dan TPK tetap mengutamakan menata orang-orang terdekatnya. Maka nama-nama seperti Probo Nugroho (Camat Sumberwringin), Yuli Indrawati (Sekdis Pertanian), Hafidhatullaily (Kabid PPA Dinsos), Indra Novianto (pj. Seklur Kotakulon) dan beberapa nama lain, yang notabene memang memiliki hubungan kekerabatan dan kedekatan dengan eks pj. Bupati dan Pj. Sekda saat ini akan tetap duduk di kursinya.
Harus dipahami bahwa dalam UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Bupati selaku kepala daerah dilarang mengambil keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan untuk diri sendiri, anggota keluarga, kroni, golongan tertentu atau kelompok politiknya. Dan harus dipahami pula bahwa dalam menerapkan aturan kepegawaian Bupati dan TPK harus jeli dan teliti memadukan aturan kepegawaian dengan aturan-aturan lainnya.
Patut kita tunggu bagaimana permasalahan mutasi yang oleh Mahfud sudah dianggap selesai ini. Kami akan terus mengawal proses penanganannya. Kepada instansi di pusat baik BKN, Kemendagri dan Inspektorat Provinsi kami akan terus meminta agar permasalahan ini dituntaskan sesuai dengan regulasi yang sebenar-benarnya, bukan versi Bupati dan TPK Pemkab Bondowoso…
(Ageng)