BONDOWOSO, Persindonesia.com – Membicarakan mutasi/promosi tahun 2023 dan 2024 memang tidak ada habisnya. Seperti ada magnet khusus yang membuatnya jadi menarik. Dari sudut pandang mereka yang diuntungkan maupun yang dirugikan.
Namun terlepas dari itu semua, nyaris tidak ada satupun yang berani memprotes atau pun mempermasalahkannya lewat jalur prosedural. Meski tersedia jalur untuk itu, namun efek menakutkan (intimidasi, red) jadi pertimbangan yang membuat mereka yang dirugikan lebih memilih diam. Paling-paling hanya jadi bahan obrolan di warung kopi saat jam istirahat.
Namun, diantara mereka yang merasa dirugikan ini akhirnya muncul satu sosok yang berani melawan. Dia memilih mengadukan permasalahan mutasi yang dialaminya ke Badan Kepegawaian Negara. Saat kami tanyakan alasannya, dia menyampaikan bahwa sebenarnya ingin menggugat lewat PTUN. Tapi karena satu dan lain hal membuat batas waktu 90 hari untuk mengajukan gugatan PTUN sudah terlewat.
“Saya sebenarnya bisa menerima keputusan pak Pj. Bupati mas, tapi rasanya koq gak adil. Ada PNS lain yang kasusnya sama seperti saya tetap di jabatan struktural”, ungkapnya mengawali pembicaraan dengan kami.
Yani menambahkan, ” Kalau perlakuan yang kami terima sama, mungkin saya tidak akan menggugat. Tapi tebang pilih yang dilakukan pak Pj. Bupati membuat saya harus bersuara. Saya sudah siap dengan segala resikonya. Toh saya tidak menuntut macam-macam, saya cuma ingin keadilan mas”, tambahnya lagi.
Kami mencoba membuka data yang kami miliki terkait sosok yang dibicarakan Yani tersebut. Kami temukan satu nama yang dimaksud, Kasi Sosial di salah satu Kelurahan di wilayah Kecamatan Bondowoso. Data yang kami miliki, yang bersangkutan diangkat sebagai CPNS formasi khusus Penyuluh Pertanian pada tahun 2017 dalam golongan II/a. Pada tahun 2021 mendapatkan kenaikan pangkat ke golongan III/a lewat jalur penyesuaian ijasah. Penyesuaian ijasah dimaksud diperoleh karena yang bersangkutan adalah pejabat fungsional Penyuluh Pertanian.
Anehnya, saat sudah golongan III/a, yang bersangkutan diangkat sebagai Kasi Sosial di kelurahan. Sama sekali tidak linier dengan pengalaman jabatannya sebagai Penyuluh Pertanian.
Pengangkatan yang bersangkutan dalam jabatan kasi ini bertentangan dengan PP nomor 11 tahun 2017 pasal 54 ayat (3). Ketentuan dalam pasal tersebut menjelaskan bahwa persyaratan untuk diangkat dalam jabatan pengawas (eselon IV, red) salah satunya adalah memiliki pengalaman dalam jabatan pelaksana (staf, red) paling singkat empat tahun atau jabatan fungsional yang setingkat dengan jabatan pelaksana sesuai dengan bidang tugas jabatan yang akan diduduki.
Frasa “sesuai dengan bidang tugas jabatan yang akan diduduki” inilah yang sepertinya diabaikan oleh TPK. Mereka hanya terpaku pada prosedur, asal dibahas oleh TPK, dianggap sudah memenuhi ketentuan.
Hal ini pernah kami konfirmasi langsung kepada kepala BKPSDM Kabupaten Bondowoso, seperti kami muat dalam berita sebelumnya. Saat itu kami menanyakan perihal permasalahan PNS yang belum 2 tahun sudah dimutasi. Mahfud menjawab boleh, selama ada kebutuhan organisasi dan memenuhi persyaratan.
Persyaratan ini yang dia maksud adalah dibahas di TPK, ada berita acara dan sebagainya. Tidak dibahas masalah persyaratan sebagaimana tertuang dalam PP 11 tahun 2017 seperti kami sebutkan diatas.
Kembali ke permasalahan Yani, kami konfirmasi kepada yang bersangkutan, apakah betul oknum ini yang dia maksud. Dia membenarkan. “Ya itu mas, dia malah lebih diuntungkan. Dia PI (penyesuaian ijasah, red) dari golongan II/a langsung ke golongan III/a. Kalo bukan fungsional gak bisa gitu. Setelah golongan 3 malah jadi struktural”, ungkapnya kepada kamikami
Yani menambahkan, ” Kalau pemkab adil, mestinya dia harus balik juga ke fungsional. Dan BKD mungkin lupa, bahwa saya jadi staf di sekretariat dinas pertanian sudah belasan tahun. Saya dikasih tugas masalah kepegawaian, administrasi, perencanaan, keuangan. Harusnya dengan bekal itu saya bisa jadi pejabat struktutal”.
Berkaca dari salah satu kasus ini, memang kesan tebang pilih sangat kuat. TPK seperti berlindung dibalik “hak prerogatif” Bupati, seperti statemen Mahfud beberapa waktu yang lalu.
Jika TPK tidak menerapkan standar baku sebagaimana ketentuan yang berlaku, maka permasalahan-permasalahan mutasi akan terus ada dalam setiap gerbong mutasi. Maka percuma saja mereka menarasikan bahwa permasalahan mutasi sudah selesai. Karena kenyataannya memang belum usai…
(Ageng)