Rangkaian Permasalahan Kepegawaian Yang Tak Kunjung Usai, Cerminan Lucunya Para Pejabat Di Negeri Tapai

BONDOWOSO, Persindonesia.com – Opini – Sejak munculnya dua pemberitaan terkait keabsahan SK Pj. Sekda (Fathur Rozi, red), banyak kalangan memperbincangkan  hal ini. Perbedaan pendapat mengenai substansi permasalahan sebenarnya pun akhirnya melebar, terkait siapa yang paling bertanggung jawab dalam kesalahan fatal ini. Ada yang mengatakan ini kelalaian Bagian Hukum, sebagian lainnya mengatakan ini kesalahan BKPSDM. Bahkan ada yang mengatakan ini adalah kesengajaan, bak konspirasi dalam film atau sinetron.

Diakui atau tidak, unsur kesengajaan nampaknya memang kental sekali dalam polemik penunjukan Pj. Sekda ini. Hal ini tergambar dari awal masa kekosongan Sekda.

Seperti diketahui, kekosongan Sekda terjadi saat Bambang Soekwanto mengundurkan diri pada 1 Agustus 2024. Posisinya kemudian digantikan oleh Haeriah Yuliati sebagai Pj. Sekda dengan SK Bupati tertanggal 12 Agustus 2024. Diktum ketiga SK tersebut menjelaskan bahwa Pj. Sekda menjabat paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal 12 Agustus 2024. Artinya jabatan pj. Sekda ini akan berakhir pada 12 November 2024.

Jika merujuk pada Perpres 3/2018, dalam waktu 5 hari kerja Pemkab Bondowoso seharusnya sudah melakukan proses pengisian Sekda definitif. Namun hal ini tidak dilakukan oleh Pj. Bupati kala itu (Hadi Wawan Guntoro, red), entah dengan alasan apa. Mungkin karena seorang Pj. Bupati merasa tidak memiliki kewenangan untuk mengangkat Sekda definitif, atau karena alasan kondusifitas menjelang Pilkada.

Dalam Perpres ini juga diatur ketentuan jika waktu 3 bulan terlampaui dan Sekda definitif belum ditetapkan, maka penunjukan Pj. Sekda diambil alih oleh Gubernur.

Alih-alih melaksanakan proses seleksi terbuka Sekda, Pj. Bupati justru meminta perpanjangan masa jabatan Pj. Sekda dengan surat tertanggal 17 Oktober 2024. Permintaan ini ditolak oleh BKD Provinsi Jawa Timur. Namun sayangnya dalam surat balasan itu tidak dijelaskan klausul pengambilalihan kewenangan penunjukan Pj. Sekda sebagaimana ketentuan dalam Perpres 3/2018.

Parahnya lagi, ketentuan penunjukan Pj. Sekda yang diatur dalam Permendagri 91/2019 juga diabaikan. BKD Provinsi justru memberi kesempatan Pj. Bupati Bondowoso untuk mengusulkan Pj. Sekda baru pengganti Haeriah.

Lebih parah lagi, Pj. Bupati kemudian menunjuk Haeriah sebagai Plh. Sekda, sambil menunggu proses penunjukan Pj. Sekda. Disinilah masalah besar muncul. Bagaimana tidak, Haeriah menjabat sebagai Plh. Sekda sejak tanggal 13 November 2024 sampai dengan 16 Februari 2025. Artinya lebih dari 3 bulan masa jabatannya sebagai Plh. Masa jabatan yang bahkan lebih panjang dari seorang Pj. Masa jabatannya ini kemudian berakhir saat Pj. Sekda (Fathur Rozi, red) dilantik pada 17 Februari 2025.

Pertanyaannya adalah, secara hukum apakah sah posisi Plh. Sekda saat itu?

Pasal 4 huruf b Perpres 3/2018 memang menjelaskan ketentuan Kepala Daerah menunjuk pelaksana harian apabila dalam proses penerbitan keputusan pemberhentian

sekretaris daerah kurang dari 7 (tujuh) hari kerja dan/atau pengangkatan penjabat sekretaris daerah. Akan tetapi proses seperti apakah yang membutuhkan waktu hingga lebih dari 3 bulan? Maka tidak salah jika kemudian muncul anggapan bahwa semua ini sengaja disetting atau disengaja untuk menjebak Pj. Bupati selaku pengambil keputusan akhir.

Jika asumsi kesengajaan ini kemudian dibantah, maka penyebab kesalahan ini tak lain adalah kegagalan mereka dalam menterjemahkan aturan. Kebodohan kolektif, ketololan masif yang memprihatinkan saat dilakukan oleh para pejabat tinggi di Kabupaten ini.

Dan jangan sampai mereka memberikan alasan bahwa semua sudah sesuai aturan dan sudah dikonsultasikan dengan pusat dan sebagainya. Ini justru akan menunjukkan kebodohan lainnya.

Yang patut ditakutkan adalah jika nanti ada pihak yang tergerak untuk mengajukan PTUN atas kesalahan dalam penetapan Plh. dan Pj. Sekda ini. Jika kemudian keputusan ini dianggap cacat kewenangan, cacat prosedur dan cacat substansi, maka tentunya keputusan itu harus dibatalkan demi hukum. Lantas bagaimana dengan dampak keuangan yang terlanjur timbul selama ini?

Mungkin bagi sebagian orang permasalahan ini dianggap sebagai komedi birokrasi belaka. Kesalahpahaman menterjemahkan Plh sebagai pelaksana harian, diplesetkan menjadi pelaksana bulanan. Alangkah lucunya negeriku, negeri tapai tercinta…

(Ageng)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *