BONDOWOSO, PersIndonesia.com -OPINI – Bupati Bondowoso menerima warisan komposisi pejabat yang bisa dibilang tidak ideal. Selain karena banyak kekosongan pejabat eselon II, faktor lain adalah tidak match-nya kebutuhan jabatan dengan kompetensi dan kapasitas pejabatnya. Bagaimana bisa hal ini terjadi?
Yang paling mencolok tentu kepentingan satu golongan di era sebelumnya, yang cenderung menempatkan kroni-kroninya di jabatan-jabatan strategis. Meski tidak pas, tetap harus dipaksakan.
Hasilnya seperti yang bisa kita lihat saat ini. Bagaimana seorang yang hanya dua kali menjabat eselon II (itupun bukan di OPD strategis, red) menjadi Pj. Sekda, Plh. Sekda dan Pj. Sekda lagi. Bagaimana seorang yang minim pengalaman dan minus kompetensi menjadi kepala BKPSDM, dan banyak contoh lain lagi. Mereka lebih sibuk bagi-bagi kursi jabatan di posisi yang strategis, demi mendukung kepentingan tertentu. Alih-alih menjalankan roda pemerintahan, yang memang tidak mereka kuasai.
Satu pemberitaan di media online menulis tentang 6 permasalahan di BKPSDM, yang sangat memprihatinkan. Tumpukan permasalahan ini bagai bom waktu bagi bupati Bondowoso saat ini, jika tidak segera diselesaikan. Menurut beberapa sumber dari kalangan PNS, permasalahan semacam ini mulai terjadi sejak tahun 2021. Dan jarang sekali terjadi di masa-masa sebelumnya. Apalagi dengan jumlah se-masif ini.
Ini jelas membuktikan batas kemampuan kepala BKPSDM saat ini, yang jauh dibawah ekspektasi semua pihak. Ditambah dengan pelaksanaan open bidding Sekda yang semerawut, tidak ada pilihan lain bagi bupati untuk tidak mencopotnya.
Kepala BKPSDM ini, bukannya secara ksatria mengakui semua kekurangan dan kelemahannya, justru sibuk membuat pemberitaan lain (pengalihan isu, red) yang tidak ada isinya. Seperti kata pepatah, tong kosong nyaring bunyinya. Meski ada satu statement nya yang saya setuju, bahwa Bondowoso tidak sedang minim SDM. Hanya saja, penempatannya yang tidak sesuai dengan kompetensinya. Termasuk dia sendiri.
Di sisi lain, permasalahan di bidang penegakan disiplin ASN juga tengah mendapat sorotan. Lepasnya pengawasan dan proses pemeriksaan disiplin ASN terkait berbagai kasus disiplin menunjukkan ketidakmampuan Inspektur dan jajarannya. Sanksi yang tidak sesuai dengan tingkat pelanggatan disiplin, hingga tidak di prosesnya ASN yang terbukti melakukan pelanggatan disiplin. Hal ini jelas menimbulkan kerancuan standar penegakan disiplin ASN. Kecemburuan dan kesenjangan di kalangan ASN pun mulai timbul akibat tidak tegasnya Inspektorat dalam hal ini.
Selain itu, pemerintahan level kecamatan dan desa pun tak luput dari ragam permasalahan. Mulai dari tidak profesionalnya pengelolaan DD/ADD, pengelolaan TKD dan aset desa lainnya yang tidak transparan, hingga lemahnya pendampingan oleh tim monev kecamatan. Yang terjadi kemudian adalah pengawasan, monitoring dan evaluasi yang hanya bersifat formalitas. Sekedar menggugurkan kewajiban administrasi belaka.
Parahnya, setelah ramai pemberitaan di media online, DPMD selaku leading sector baru tergerak untuk mengusulkan draft Perbup. Mungkin memang benar anekdot bahwa harus viral dulu baru ditangani dengan serius.
Segudang permasalahan yang sudah mulai ramai menjadi perbincangan ini dan mungkin masih banyak permasalahan lain yang tidak nampak di permukaan, mesti menjadi bahan evaluasi bagi bupati. Prinsip Right Man On The Right Place harus benar-benar dijalankan. Jangan lagi ada toleransi, jika ingin roda pemerintahan berjalan dengan baik dan lancar sesuai dengan visi-misi yang dijanjikan.Mungkin perlu langkah yang ekstrim, dan butuh effort yang lebih besar lagi untuk menuntaskan beragam permasalahan ini. Dan ini tidak mungkin terwujud jika Bupati didampingi oleh pejabat-pejabat yang asal-asalan.
Terakhir, saya mewakili relawan lain ingin mengingatkan Bapak Bupati bahwa balas budi kepada mereka yang berjasa dalam kontestasi pilkada kemarin mungkin diperlukan. Tapi yang lebih utama adalah memberikan kesempatan mereka yang mampu untuk menduduki jabatan sesuai kompetensi dan kapasitasnya…
(Ageng)