Jakarta persindonesia.com , 4 Oktober 2025 โ Pemecahan bidang tanah kini jadi layanan pertanahan yang cukup banyak diminati masyarakat. Umumnya, layanan ini dibutuhkan untuk keperluan waris, jual-beli sebagian tanah, atau pengembangan perumahan oleh pengembang.
Menurut Sekretaris Direktorat Jenderal Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah (PHPT), Shamy Ardian, pemecahan bidang tanah adalah proses memisahkan satu sertipikat menjadi beberapa sertipikat baru, sesuai dengan pembagian tanah yang diinginkan. โSetelah proses pemecahan selesai, sertipikat induk tidak lagi berlaku dan digantikan oleh sertipikat-sertipikat baru atas bidang tanah yang telah terpisah,โ jelas Shamy saat ditemui di Kantor Kementerian ATR/BPN, Jakarta.
Proses ini bisa dilakukan oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, selama tanah tersebut telah terdaftar secara resmi. Berdasarkan PP Nomor 24 Tahun 1997, setiap bagian hasil pemecahan akan dibuatkan surat ukur, buku tanah, dan sertipikat baru.
Adapun dokumen yang perlu disiapkan meliputi: Sertipikat asli (SHM/SHGB), Fotokopi KTP dan KK pemilik, Surat permohonan pemecahan, SPPT dan bukti lunas PBB tahun terakhir, Site plan dari pemerintah daerah (untuk pengembang), Tambahan dokumen waris jika tanah merupakan warisan.
Setelah berkas lengkap diajukan, petugas Kantor Pertanahan akan melakukan pengukuran ulang serta membuat peta bidang baru sesuai rencana. Biaya pengukuran akan dikenakan sesuai tarif resmi. Proses dilanjutkan dengan penerbitan sertipikat baru atas nama pemohon.uma
Perlu dicatat, tidak semua tanah bisa dipecah. Tanah ulayat milik masyarakat hukum adat yang masih tercatat atas nama perseorangan tidak diperbolehkan untuk dipecah. Hal ini diatur dalam Permen ATR/Kepala BPN Nomor 16 Tahun 2021 Pasal 42 ayat (3).
Dengan memahami prosedur dan aturan ini, masyarakat diharapkan bisa lebih siap dalam mengurus pemecahan bidang tanah secara legal dan tepat.
(Humas ATR/BPN Gianyar Bali)
Biro Hubungan Masyarakat dan Protokol
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/
Badan Pertanahan Nasional






