Persindonesia.com Jembrana – Dua unit mesin pengolahan hasil pertanian dan perkebunan di era Bupati Jembrana I Nengah Tamba yang sempat digadang-gadang menjadi pusat inovasi sebelumnya tidak beroperasi. Dua mesin tersebut yakni Rice Milling Unit (RMU) di Desa Penyaringan dan mesin produksi cokelat di Banjar Peh, Desa Kaliakah, Kecamatan Negara.
RMU Tibu Beleng di Desa Penyaringan sebelumnya diklaim sebagai Sentra Pengolahan Beras Terpadu (SPBT) termodern di Bali dan masuk tiga terbaik di Indonesia. Mesin yang mulai beroperasi pada November 2023 itu merupakan bantuan Menteri BUMN Erick Thohir melalui program CSR Bank Mandiri. Namun, harapan besar itu kini redup. Mesin senilai miliaran rupiah tersebut tidak beroperasi maksimal karena terkendala pembelian gabah dari petani.
Akibat kondisi itu, pihak Bank Mandiri pusat bahkan mendatangi Pemkab Jembrana untuk menanyakan langsung keberlangsungan operasional mesin tersebut. Setelah dicarikan solusi, RMU tersebut kini mulai beroperasi dengan pengelolaan baru dari pihak ketiga
Sanapi terpilih , Pemkab Bogor Ucap Syukur Semua Berjalan Lancar
Tak hanya RMU, kondisi serupa juga terjadi pada pabrik pengolahan cokelat di Banjar Peh, bantuan dari Kementerian Koperasi dan UKM yang diluncurkan langsung oleh Menteri Koperasi pada Desember 2023. Pabrik yang sempat digadang mampu meningkatkan nilai tambah kakao Jembrana itu kini juga tidak berjalan maksimal karena biaya operasional yang cukup tinggi.
Bupati Jembrana, I Made Kembang Hartawan, membenarkan kondisi dua mesin pengolahan tersebut. “Saya sempat didatangi perwakilan Bank Mandiri dari Jakarta, mereka menyampaikan kalau RMU di Penyaringan tidak beroperasi maksimal karena tidak bisa membeli gabah, sehingga tidak bisa menjual beras,” ungkapnya, Kamis (23/10).
Ia menyebut, pihaknya sudah berupaya mencari solusi. “Kami sudah diskusikan dan sekarang RMU sudah mulai beroperasi kembali,” jelasnya.
Skandal KUR Fiktif Senilai Rp 2,3 Milyar di Jimbaran Bergulir, Seorang Tersangka Kembali Terciduk
Sementara untuk pabrik cokelat di Banjar Peh, lanjut Kembang, kendalanya lebih berat. Menurutnya, biaya operasional, terutama listrik dan tenaga kerja, sangat tinggi. Awalnya ada 17 tenaga kontrak dari Pemkab yang digaji daerah, namun setelah masa kontrak berakhir, gaji karyawan menjadi tanggungan koperasi pengelola, sementara listrik dan biaya lainnya tetap ditanggung pemerintah sekitar Rp5 juta per bulan.
“Belakangan pihak koperasi menyatakan mundur karena tidak mampu menanggung biaya operasional. Kalau saya lihat memang operasional tinggi tidak sebanding dengan kapasitas produksi, jadi pasti minus,” ujarnya.
Ia menambahkan, Pemkab masih berupaya mencari pihak lain, baik koperasi maupun swasta, untuk mengambil alih pengelolaan pabrik cokelat tersebut. “Kami ingin sebenarnya program-program bantuan seperti ini bisa berjalan baik. Konsepnya bagus, hanya pelaksanaannya yang belum maksimal,” pungkasnya. Ts