Pemangku Wilayah Kecamatan Dan Ancaman Demokrasi

OPINI — Sebagai implikasi dari Pemilu serentak 2024, kebijakan Pj. Bupati Bondowoso terhadap managemen penempatan PNS di kecamatan menarik untuk dikaji. Walaupun pejabat yang menduduki jabatan camat, jelas bukanlah orang partai, tetapi kepentingan politik tidak bisa dihindarkan sama sekali. Mengingat Posisi camat adalah pemangku wilayah tingkat kecamatan, sehingga muncul kecurigaan-kecurigaan konflik kepentingan.

Agaknya kecurigaan ini tidak terlepas dari bagaimana struktural Pemda terbentuk. Camat adalah pembantu Bupati, sedangkan Bupati merupakan bagian dari partai politik. Kecurigaan di mana adanya potensi kepentingan di tubuh pemerintahan juga tidak tertutup kemungkinan untuk menjalar ke posisi Kepala Desa bahkan mempengaruhi akar rumput.

Dengan kata lain perangkat daerah pun secara tidak langsung merupakan perpanjangan tangan partai politik dalam birokrasi. Bukan tanpa alasan, bahwa adanya potensi untuk penguasa mempertahankan kekuasaannya kembali dengan cara-cara yang mendobrak rambu-rambu demokrasi. Hampir bisa dipastikan partai penguasa saat ini tidak mungkin melepaskan kekuasaannya begitu saja.

Disinilah letak permasalahannya. Pemangku wilayah memiliki potensi untuk menggunakan akses yang dimiliki terhadap alat negara untuk kepentingan politis. Iklim politik belum terlepas dari hal-hal yang sifatnya semacam itu. Sehingga akan melahirkan kecurigaan politik yang berujung kepada ketidakstabilan politik. Bentuk ketidakstabilan itu dapat dilihat bagaimana iklim dari ruang politik itu sendiri.

Contoh yang terjadi dilapangan,
Seorang camat di dapil III Bondowoso, orang tuanya merupakan caleg didaerah tersebut. Juga camat dapil IV, mencalonkan anaknya sebagai caleg di daerah kekuasaannya. Kebetulan kedua caleg keluarga camat tersebut berasal dari partai penguasa pemerintah saat ini.

Kerentanan Kepentingan Politik
Tidak berhenti pada pengangkatan yang berpotensi mengangkangi demokrasi. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) juga mengeluarkan Surat Edaran Mendagri Nomor 821/5492/SJ tanggal 14 September 2022 memberikan wewenang kepada pejabat (Pj), pelaksana tugas (Plt), dan pejabat sementara (Pjs) untuk mengambil tindakan terhadap pegawai daerah.

Dengan ini Pj kepala daerah memiliki wewenang untuk memberhentikan, mengangkat, memutasi, mengganti PNS. Kewenangan ini dinilai oleh banyak pengamat sebagai sebuah masalah. Terdapat potensi untuk terjadinya abuse of power mengingat Pj kepala daerah bukanlah pilihan langsung dari rakyat dan tidak mendapatkan mandat rakyat.

Surat Edaran yang dikeluarkan Mendagri berpotensi disalahgunakan oleh pejabat yang sebenarnya tidak memiliki hak dan mandat dari rakyat karena mereka dipilih Mendagri.

Di samping itu, aturan ini juga dianggap menabrak regulasi yang lebih tinggi. Dilansir dari laman dpr.go.id, Komisi II DPR RI dari fraksi Partai Nasdem menyebutkan bahwa regulasi tersebut bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Dalam Pasal 14 ayat 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan tidak memberikan wewenang kepada Pj, Plt, dan Pjs untuk mengambil kebijakan seperti yang ada pada SE Kemendagri, jelas kebijakan kontradiktif yang rentan disalahgunakan.

Dalam kaitannya dengan demokrasi, keadaan ini adalah ancaman yang besar buat demokrasi. Tantangan untuk penyelenggaraan demokrasi yang lebih baik, dalam penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil.

Kebijakan penempatan PNS seperti ini tidak baik bagi keberlangsungan demokrasi tentunya. Misi untuk menegakkan good governance akan sangat sulit untuk direalisasikan ketika dalam penyelenggaraannya saja tidak bisa transparan dan syarat akan kepentingan.

Penulis : Aktivis Bondowoso Ageng Yuli Saputra

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *