Raja Kerajaan Konoha, Religius Namun Doyan Korupsi

BONDOWOSO, Persindonesia.com – Masyarakat Kerajaan Konoha, dikenal kuat memegang prinsip keagamaan. Tetapi di sisi lain, praktik korupsi tumbuh makin subur. Ada yang aneh ataukah ini sudah dianggap biasa?

Banyak pertanyaan muncul terkait fenomena itu. Apakah faktor agama atau kehidupan yang religius tidak menjadi penghalang bagi seseorang untuk melakukan korupsi?. Atau, mungkin koruptor melakukan aksinya dengan dalih kegiatan keagamaan?

Masyarakat memiliki sikap dan tindakan yang berbeda terhadap praktik korupsi. Masyarakat cenderung tidak bisa menerima korupsi, tetapi di sisi lain bisa memaklumi praktiknya, karena menganggap korupsi sudah menjadi “urusan wajib” bagi pemegang kekuasaan.

Sebagai contoh, sang Raja di Kerajaan Konoha, walau berpenampilan alim tetapi kenyataannya cenderung lebih pro-korupsi dan memeras para pembantu kerajaannya. Fakta ini bisa dibuktikan dengan kenyataan bahwa dalam sistem pemerintahan di Kerajaan Konoha, masih tingginya angka korupsi, pungli dan jual beli jabatan.

Raja sengaja menggunakan status ketokohannya sebagai orang “alim” dan dalih kepentingan keagamaan, sebagai alasan untuk mengeruk keuntungan pribadi.

Setoran “ilegal” dari para pembantu Raja kemudian mengalir. Status ketokohan dan sikap “alim” Raja, justru menjadikan kamuflase yang sempurna, dalam menciptakan sistem dan jaringan korupsi yang tidak terbaca oleh publik.

Status tokoh agama yang disandang oleh Raja, sebenarnya menjadi “topeng” terbaik mengelabuhi rakyatnya.

Bagi Raja Kerajaan Konoha, perbuatan korupsi sudah mulai bergeser dari ranah “haram” menjadi “budaya” atau menjadi “kewajiban” yang perlu dijaga dan dilestarikan. Walau semua agama melarang korupsi dan mencuri, tetapi penganutnya membenarkan tindakan korupsi dengan alasan tertentu dengan dalih untuk kepentingan umat.

Korupsi atau mencuri uang negara adalah dosa. Tetapi, ada nilai-nilai yang diyakini oleh sebagian masyarakat beragama bahwa tujuan membenarkan cara. “Korupsi itu nggak apa-apa, asal hasil dari korupsi itu digunakan untuk hal-hal yang baik. Dalih untuk kepentingan keagamaan atau membangun fasilitas keagaman menjadikan alasan yang logis melakukan korupsi yang “halal”.

Faktor pendorong budaya korupsi oleh Raja Kerajaan Konoha, mungkin kepercayaan bahwa Tuhan Maha Pengampung, termasuk dosa-dosa akibat perbuatan korupsi, dapat ditebus melalui amal keagamaan. Mungkin dari faktor itulah, Raja Kerajaan Konoha dengan sadar dan sengaja melakukan korupsi.

Masyarakat pendukung Raja pun menoleransi praktik korupsi, karena seorang Raja yang berasal dari tokoh agama dan terlihat lugu dan alim, diyakini tidak mungkin melakukan perbuatan “hina” yang disebut dengan “korupsi”, jikapun ada korupsi di Kerajaan, itu dilakukan oleh pihak lain.

Muncul pertanyaan besar, mengapa masyarakat Kerajaan Konoha sangat percaya bahwa Rajanya bukan seorang koruptor, yang saat ini diberi mandat memimpin daerah mereka sendiri?

Itu karena, Kampaye Raja Kerajaan Konoha, yang memastikan kepemimpinannya bersih dari korupsi, pungli dan jual beli jabatan mampu menghipnoptis masyarakat. Penampilannya yang Konoha lugu dan alim, semakin menyakinkan masyarakat, bahwa dialah Raja yang akan mensejahterakan rakyat.

Terlepas dari cara pandang pemeluk agama terhadap agama itu sendiri. Dalam keseharian, agama menjadi pedoman hidup dalam kehidupan sehari-hari, tetapi tidak dapat dijadikan ukuran nilai dan pemandu moral pelaku korupsi dalam bertindak.

(Ageng Yuli Saputra)

Posting Terkait

Jangan Lewatkan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *