OPINI, Persindonesia.com – Di kawasan pegunungan yang dingin dan berkabut, Pak Pinus dan Bu Kopi hidup sebagai pasangan romantis, bagaikan Romeo dan Juliet dari alam hijau.
Keduanya telah lama berdiam dan beranak-cucu di kawasan yang tenang, memberikan pelajaran tentang kesabaran, ketekunan, dan keseimbangan hidup.
Merekalah yang menjadikan kawasan ini dikenal hingga jauh, karena kesetiaan mereka menjaga waktu dan ruang.
Untuk melihat Bu Kopi menunjukkan hasil terbaiknya, buah merah yang cantik, dibutuhkan penantian panjang yang hanya bisa dijalani oleh mereka yang percaya pada masa depan. Saat tiba waktunya, hasil itu hanya datang sekali dalam setahun sehingga mengajarkan bahwa keindahan sejati memang lahir dari kesabaran.
Sementara itu, Pak Pinus dengan gagah menjaga kehijauan alam, menahan marahnya angin, meneduhkan tanah, dan melindungi siapa pun di sekitarnya dari amarah alam yang tak mudah ditebak. Ia bagaikan penjaga gunung di Swiss, tegak namun penuh welas asih sehingga menciptakan keseimbangan bagi kehidupan di bawahnya.
Kehadiran Pak Pinus dan Bu Kopi telah melahirkan suasana damai serta harmoni ekologis, di mana manusia, tanah, dan alam hidup dalam lingkaran saling membutuhkan. Bahkan hasil dari Bu Kopi terkenal hingga ke negeri sang Ratu, membuat siapa pun terpesona oleh kelembutan rasanya dan aroma alami yang menenangkan jiwa.
Namun kemudian datanglah Mbak Ken Tang, gadis baru yang memesona dengan kecantikannya. Banyak yang jatuh hati, karena kehadirannya membawa perubahan dalam kehidupan sehari-hari di kawasan tersebut. Pesonanya membuat asmara di pegunungan itu bergolak, perselingkuhan antara kesabaran dan nafsu sesaat pun dimulai.
Alam yang semula tenteram mulai terusik; Pak Pinus kehilangan wibawanya, dan Bu Kopi tersingkir perlahan dari hati mereka. Kini, di pegunungan itu seperti menahan napas. Apakah Bu Kopi akan benar-benar menjadi kenangan, dan Pak Pinus mampu menjaga jati dirinya dari godaan Mbak Ken Tang yang datang membawa pesona baru? Ataukah alam yang selalu menjadi saksi, akan turun tangan dan menunjukkan kekuasaannya – menegakkan kembali keseimbangan yang telah lama dibangun?
Catatan Redaksi:
Tulisan ini merupakan karya alegoris yang menggambarkan dinamika ekologis antara hutan, tanaman, dan manusia di kawasan pegunungan. Semua nama dan tokoh bersifat simbolik.
(Geng)