Viral, Label Beras Bansos Bergambar Pj Bupati dan Pj Sekda Bondowoso, Tidak Memenuhi Ketentuan

BONDOWOSO, Persindonesia.com – Viral kemasan bantuan sosial berupa bantuan beras rawan pangan untuk masyarakat Bondowoso menuai kontroversi kalangan publik. Pj Bupati Bondowoso, Bambang Soekwanto selaku pihak yang santer dibicarakan akan maju dalam pesta politik di Pilkada 2024, dituding beberapa kalangan “nebeng anggaran” dalam “promosi gratis” menjelang Pilkada.

Menanggapi hal tersebut, Pj Bupati Bondowoso, Bambang Soekwanto memberikan pernyataan di beberapa media menjelaskan, “penyaluran bantuan sosial yang saat ini diberikan kepada masyarakat merupakan upaya dari Pemkab untuk menekan inflasi daerah, dimana saat ini inflasi daerah di Kabupaten Bondowoso masih tergolong tinggi. Pemberian bantuan itu merupakan bagian dari hadirnya Pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat”.

Pj Bupati membantah jika dirinya memanfaatkan anggaran Pemerintah untuk mempromosikan dirinya. “Biar masyarakat di Desa-desa tahu siapa Pj Bupatinya dan Pj Sekdanya yang sekarang, terkecuali foto saya itu sendiri. Pemberikan bantuan sosial bukan karena dirinya hendak mencalonkan diri sebagai Bupati, akan tetapi dirinya beralasan masyarakat biar memahami dan mengenal siapa pemimpin Kabupaten Bondowoso saat ini”.

Aktivis Bondowoso, Ageng Yuli Saputra mendukung pemkab Bondowoso atas kepeduliannya kepada masyarakat miskin dengan memberikan bantuan sosial berupa beras kualitas medium 10 kg. Tetapi kemasan bantuan sosial tersebut tidak memenuhi persyaratan label produk pangan sesuai Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Nomor 20 tahun 2021.

Ageng menjelaskan, “kemasan bantuan sosial Pemkab Bondowoso tidak mencantumkan Identitas produsen atau penyedia barang dan jasa yang menjadi rekanan pemkab, tidak mencantumkan keterangan Halal sebagai produkpangan yang wajib dipersyaratkan, tidak mencantumkan nomor Izin edar serta kadaluarsa produk”.

“Sesuai Undang-Undang Pangan No 18 tahun 2012, setiap pangan yang dibuat di dalam negeri atau yang diimpor untuk diperdagangkan dalam kemasan eceran wajib memiliki izin edar. Nomor Izin Edar (NIE) wajib kita perhatikan saat memilih pangan karena menunjukkan produk tersebut sudah teregistrasi dan terjamin keamanan serta mutu pangannya”.

“Berdasarkan Undang-undang No. 33 tahun 2014 beserta turunannya, ada tiga kelompok produk yang harus sudah bersertifikat halal seiring dengan berakhirnya penahapan pertama tersebut. Pertama, produk makanan dan minuman. Kedua, bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong untuk produk makanan dan minuman. Ketiga, produk hasil sembelihan dan jasa penyembelihan”, jelas Ageng.

Lebih lanjut Ageng menjelaskan, label bukan sekedar keterangan yang ditempelkan, apalagi menggunakan label Pemkab disisipkan atau menjadi bagian dari suatu produk. Walaupun sanksi hanya tersedia bagi pelaku usaha yang memiliki kewajiban untuk pencantuman label sesuai regulasi, namun menjadi preseden buruk bagi pemerintah yang terang-terangan melanggar ketentuan label produk.

“Label merupakan salah satu bentuk informasi bagi konsumen mengenai suatu barang/jasa. Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), dinyatakan bahwa informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa merupakan salah satu hak konsumen. Informasi bagi konsumen juga merupakan salah satu bentuk implementasi dari hak-hak konsumen lainnya, yakni hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkomsumsi barang dan/atau jasa, serta hak konsumen untuk memilih barang dan/atau jasa”.

“Dalam UUPK, pengaturan mengenai label merupakan bagian dari ketentuan yang mengatur mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yakni Pasal 8 UUPK. Sanksi pidana, berupa pidana penjara atau pidana tambahan, telah menanti bagi pelaku usaha yang melanggar ketentuan Pasal 8 UUPK tersebut”.

“Sementara itu, UU Pangan menerapkan sanksi administrasi terhadap pangan yang tidak memenuhi ketentuan mengenai label berupa: a. denda; b. penghentian sementara kegiatan produksi, dan/atau peredaran; c. penarikan pangan dari peredaran oleh konsumen; d. ganti rugi dan/atau pencabutan izin. Namun demikian, UU Pangan menerapkan pula sanksi pidana berupa penjara atau denda dalam hal keterangan yang diberikan memuat informasi yang tidak benar atau menyesatkan,” pungkas Ageng.

(Saiful/Tim)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *