Masih Perlukah Demokrasi Di Indonesia ?

Surabaya, Persindonesia.com,- Demokrasi muncul pada awalnya muncul sebagai pertanyaan akan kebebasan Individu Bangsa Eropa pada saat renaissance ketika sebelumnya para penguasa dan agamawan berkoplot untuk menegakkan kekuasaan tirani di zaman kegelapan atau yang lebih dikenal dengan the dark middle age (Sunarso, 2015).

Demokrasi modern menyebar luas ke seluruh dunia pasca runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1989 yang menurunkan pamor komunisme sebagai ideologi yang dibawanya. Momentum ini membuat demokrasi berkembang dan menyebar ke berbagai negara karena dianggap mampu mengatur dan menyelesaikan masalah-masalah antara individu dengan individu, individu dengan negara dan hubungan antar negara di dunia.

Demokrasi menyebar sebagai alternatif karena kagagalan sistem pemerintahan tradisional yang seringkali menganut otoritarianisme. Peran individu tunggal yang secara mutlak mengatur individu dalam komunitas menciptakan kelas sosial dan mengikis hak-hak individu diberbagai lini kehidupan termasuk politik.

Kecenderungan seperti ini yang ingin dirubah dalam sistem demokrasi. Sebagai sistem yang berawal dari sebuah konsep, demokrasi memiliki arti dan makna yang luas. Heru Nugroho (2012) menyebut demokrasi sebagai metode politik, mekanisme untuk memilih pemimpin politik. Warga negara diberi kesempatan untuk memilih para pemimpinnya dalam suatu ajang kompetisi pemilihan umum. Partisipasi warga negara yang difasilitasi oleh negara inilah kemudian yang disebut dengan demokrasi.

Indonesia menjadi salah satu negara yang menganut demokrasi. Anhar Ganggong dalam dokumenter “Melawan Lupa – Jatuh Bangun Demokrasi” menyatakan bahwa para pemimpin Indonesia di masa menuju kemerdekaan lebih memilih demokrasi karena dua alasan.

Pertama masuknya pemahaman demokrasi dari literasi dari luar dan Kedua adalah tidak adanya kerajaan feodal yang menganut demokrasi, sehingga hal itu ingin dirubah.

Hal ini menjadi wajar karena pengalaman penjajahan di Indonesia membuat Bangsa Indonesia merindukan kebebasan hak dan kebebasan individu yang itu diakomodasi oleh demokrasi.

Namun, tidak ada kebebasan individu yang tanpa batas. Kebebasan individu dalam demokrasi yang diwarnai liberalisme mengharuskan batas – batas tertentu dalam bertindak.

Individu perlu menyadari batasan – batasan yang diberikan oleh negara dalam berperilaku entah dalan hubungannya dengan masyarakat ataupun hubungannya dalam bernegara

Hak untuk memilih pemimpin, hak untuk berpendapat, hak untuk berogranisasi dan lainnya tidak terlepas dari batasan- batasan yang disediakan oleh negara. Sehingga demokrasi menjadi ruang penuh kebebasan yang disertai tanggungjawab entah yang muncul sebagai ketaatan terhadap aturan ataupun tanggungjawab moral yang hadir karena kesadaran menjadi bagian dari masyarakat.

Demokrasi yang ideal ini baru bisa terwujud jika masyarakatnya memilikik edewasaan politik dan sosial.

Di Indonesia kedewasaan ini seringkali tidak tercermin dalam berbagai event politik. Sebut saja Pilkada DKI Jakarta 2017 yang masih tertancap dalam ingatan sebagai pemilu yang sarat akan politik identitas. Dalam berpolitik tentu masyarakat memiliki kebebasan untuk memilih pemimpinnya dan menyuarakan pendapat. Namun fasilitas demokrasi ini menjadi wadah bagi sebagian orang untuk melakukan propaganda politik yang jauh dari tujuan kebersatuan dan berpotensi memunculkan perpecahan. Masih kita ingat pula kalimat “Dilarang memilih pemimpin non – muslim”. Kalimat ini menjadi bukti bahwa individu memiliki hak untuk berpendapat namun di sisi lain juga menghalangi hak individu untuk menjadi pemimpin. Apakah ini kemudian bisa dibilang sebagai kemajuan demokrasi karena memberi wadah berkespresi ?. Ataukah ini menjadi kemunduran dalam berdemokrasi karena melarang individu untuk memilih pemimpin yang ia inginkan, atau malah melarang individu untuk memimpin ?

Kita juga sempat mengalami masa Pemilihan Presiden 2019 yang membelah masyarakat menjadi dua kubu. Munculnya fenomena Cebong dan Kampret mengkanalisasi pilihan mereka dan mengkelompokkan masyarakat bukan hanya dalam pilihan politik namun juga berdampak pada kehidupan sosial. Tidak jarang kita lihat di sosial media penuh dengan kata-kata kasar karena berbeda pilihan. Atau putusnya tali silaturahmi antar sahabat bahkan keluarga karena perbedaan politik.

Peristiwa-peristiwa ini menunjukkan demokrasi di Indonesia sekedar pisau bermata dua yang bisa digunakan untuk “melukai” orang lain agar tujuannya tercapai. Pisau demokrasi yang diharapkan menjadi senjata untuk mensejahterakan bangsa malah dalam berbagai kasus menciptakan kemunduran bangsa.

Demokratisasi bukan menjadi hal yang urgen untuk dilakukan. Pemerintah perlu lebih fokus untuk meningkatkan kualitas SDM dan mendorong kedewasaan dalam berdemokrasi di Indonesia. Pemerintah perlu paham betul bahwa Indonesia dibentuk bukan untuk berdemokrasi

melainkan untuk mensejahterakan rakyat. Tidak perlu mengejar nilai indeks negara demokrasi tapi bagaimana mengejar indeks kesejahteraan rakyat. Sehingga kemajuan yang digambar

kan dengan meningkatnya demokrasi menjadi tidak relevan lagi. Karena pada akhirnya demokrasi hanya batu pijakan untuk mencapai kemajuan bangsa. Jika batu pijakan itu malah membuat bangsa ini terpeleset, pertanyaannya, masih perlukah Demokrasi di Indonesia ?

Penulis : Rizha Putra Kusuma
Mahasiswa Magister Media Dan Komunikasi UNAIR (Red-MPI).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *